DERITAKU
Kenangan pertama dimulai saat aku terjaga oleh suara benturan tubuh mama yang di lempar ke dinding di ruang selah,dan amukan papa yang marah pada mama.ketika mendengar keributan,rintihan dan erangan yang hanya berjarak beberapa meter,aku terbaring diam dan ketakutan,meringkuk dengan selimut menutup sampai kepala, berusaha tidak mendegar.
Di sebelahku,Rindy-kakakku yang berumur tujuh tahun,setahun lebih tua dariku,sedang berlutut. Bahu kecilnya gemetar,kepalanya menyusup ke bawah bantal,menutupi telinga dari suara yang mengerikan itu. Di kamar lain, tya berumur yang menangis di dalam boksnya.adik kami yang berumur dua tahun masih terlalu kecil untuk memahami apa yang di dengar,tetapi sudah cukup umur untuk mengetahui bahwa kejadian itu sangat buruk dan menakutkan.
Suasana seprti ini selalu terjadi setiap pagi.inilah cara kami memulai hari,hal yang biasa bagi kami. Namun, tidak berati kami melaluinya dengan mudah. Perutku terasa melilit dan aku berdoa tiada henti. Telapak tanganku yang berkeringat saling menggenggam, memohon agar teriakan dan pukulan berhenti. Rindy kadang tidak tahan dan berlari ke kamar orang tua kami sambil berteriak “Hentikan !! Hentikan !!jangan ganggu mama !! Lepaskan mama !!” lalu, dia menghepasakan diri ke arah papa dalam upaya yang nekat untuk melindungi mama. Papa akan mencemooh, “enyah kamu bego!” sambil mengagkat kakakku dengan satu tangandan melempar keluar kamar. Rindy jatuh kelantai dan merangkak kembali kekamar kami,tubuhnya memar. Dia tersiksa karena sakit dan ketakutan.
Mama keluar dari kamar, melilit baju tidur usang yang robek-robek di tubuh kurusnya, sambil menenteng kacamatanya yang pecah. Mama duduk di kursi kayu tua di depan meja kecil, baju tidurnya melorot terbuka. Kami bisa melihat luka dan memar di tubuhnya, sering kali ada darah di sudut bibirnya atau menetes dari luka wajahnya. Sekujur tubuhnya begitu gemetar sampai-sampai ia tidak bisa memegang kacamata dengan stabil.kami akan mendekat dan mengulurkan tangan dengan cemas untuk menyentuh lengannya sambil berkata, “jangan menangis, mama.” Mama akan melirik ke arah ointu, berjaga-jaga jangan sampai papa melihat kami. Sambil mengenakan baju, mama menyuruh kami pergi dan berbisik, “ kalian lebih baik keluar rumah sebelum papamu bangun.”
Mama menggiring kami ke jalan agar bermain sendri tanpa di asuh, dan meminta kami pulang sore. Kami tahu, papa akan duduk di kursi seharian smabil merokok,menonton TV,dan mengahabiskan sisa minumannya. Jika menggangu,berati kami memancing masalah. Maka, kami akn duduk di trotoar, berjajar seperti kancing dengan wajah kotor,baju kumal,sepatu yang membuat kaki lecet,menunggu anak-anak lain keluar rumah.
Kalau sedang di luar rumah saat orang tua bertengkar, kami mencoba bersembunyi.kecil kemungkinan anak-anak lain menyukai kami jika kami menjadi tontonan umum yang mengerikan di mata semua tetangga. Putus asa rasanya. Sejak awal, kami merasa berbeda,terendah di antara yang awal,kami merasa berbeda,terendah di antara yang rendah, dan tidak berdaya untuk mengubahnya. Walau masih kecil, aku merasa malu dengan prilaku orang tuaku. Ingin rasanya mereka berhenti seperti itu dan berprilaku normallayaknya orang tua anak-anak lain, tapi itu hampir mustahil mereka bertengakar terus, tidak peduli banyak orang yang mendengarnya.
Kami sangat ingin diterima dan terlibat dalam sebuah permainan denagan anak-anak lain, tapi ini jarang terjadi. Sebuah bola adalah milik paling berharga bagi setiap anak di jalan tempat kami tinggal.bila aku punya bola sendiri yang hati-hati dijaga dan bertuliskan namamu,anak lain akan berlomba untuk bermain bersamamu. Namun, kami tidak mempunyai bola. Maka kami di biarkan menatap iri ketika anak-anak lain bermain sepak bola dan bola kasti. Permainan lain yang di suka adalah balapan dengan memakai troli bekas, yang melibatkan banyak anak. Kadang kami di ajak, walaupun tentu saja kami tak pernah mendapat giliran duduk di dalam troli untuk di dorong di sepanjang arena balapan.
Ketika senja menjelang, kami akan melihat anak-anak lain berkerumun di pinggir jalan menunggu ayah mereka pulang bekerja. Sang ayah akan menyambut dengan senyum, memanggul anak yang terkecil, dan megusap-usap rambut anak lainnya. Kami hanya menonton dan heran,mengapa papa tidak pergi bekerja atau mengusap-usap kepala kami? Mengapa papa hanya menghabiskan hari-harinya di depan TV? Mengapa papa tidak seperti ayah lain yang terlihat sangat ramah dan menyukai anak-anaknya? Kalau kami pulang untuk makan sore, tidak ada obrolan ramah,saat-saat mendapati makanan yang tersedia di dapur, sering hanya berupa nasi yang di garami agar tidak hambar. Kemudian, kami berharap bisa melewati sampai waktu tidur tanpa pukulan.ini berati harus menjauhi papa.
Keadaan menjadi lebih buruk karena mama tidak becus menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mama tidak bisa memasak,masakanya payah sekali,dan tidak athu bagai mana cara mengatur anggaran yang minim. Mama nyaris tidak pernah membersikan rumah atau mencuci pakaian, jarang mandi atau memandikan kami. Seluruh hidupnya hanya untuk membuat membuat papa senang. Sudah jadi tugas mama untuk menyingkirkan kami dan mendapatkan apapunyang papa inginkan. Hari demi hari, papa berteriak menyuruh mama mencari uang, dan mendorong ke luar rumah.
Mama tidak selalu meninggalkan rumah kalau perlu uang. Para lelaki kadang-kadang muncul untuk mencarinya. Papa tidak memperdulikan mereka dan tetap menonton tv di ruang keluarga, “mama dan om akan ngobrol di ruang sebelah”. Si om acapkali mengedipkan mata atau mengusap kepala kami. Kadang-kadang kami diberi permen oleh om-om yang baik lalu, mereka menghilang. Beberapa saat kemudian keduanya muncul lagi, dan si om akan pergi. Pada saat itu, mama mendapat uang sehingga bisa menyediakan rokok dan teh untuk papa,dan kami pun senang.
Menginjak empat tahun, aku mulai paham bahwa mama harus kami jaga, bukan sebaliknya. Mama mencari kami untuk mambantunya dan berteriak memanggil kami untuk menolong kala papa memukulinya sehingga kami ikut di pukuli. Kadang saat pemukulan terjadi, mama berbalik ke arah papa sambil berteriak agar berhenti memukuli kami. “Mereka masih kecil ! ” mama akan berteriak seolah-olah papa akan terpengaruh. Belakang aku sadar, mama telah mencoba melindungi kami. Mama mengusir kami keluar rumah kalau pap sedang uring-uringan, mengorbankan diri dipukuli, bukan anak-anaknya. Aku kira itu cara mama untuk melindungi kami semampunya.
Pada usia empat tahun, aku bisa terbebas dari rumah selam beberapa jam sehari untuk memasuki dunia kecil yang teratur dan tenang, yaitu ketika aku bersekolah pra TK Paut Kutilang. Rindi juga bersekolah di sana. Gedungnya besar dan suram, mirip kantor. Pada masa itu, sangat sedikit anak yang bersekolah di playgroup atau pra TK. Namun, sekolah ini didirikan untuk anak-anak kalangan tidak mampu yang orang tuanya tidak bisa menangani atau meninggalkan anak sendirian sepanjang hari untuk bekerja. Hampir semua anak berpakaian buruk, kelaparan, dan tak terurus. Bersekolah berarti aku tidak berkeliaran di jalan lagi seharian. Pagi hari kami melakukan permainan, bernyayi, minum susu gratis, mendengarkan dongeng seblum di beri makan sore dan tidur siang di ranjang kecil yang berjajar. Aku senang sekali. Cuma satu hal yang aku benci di playgroup, yaitu sewaktu guru bodoh bernama “Tuti” data memeriksa kepala kami mencari kutu. Dengan sisir yang sudah di celup ke dalam disnfektan, ia menyisir sepanjang kulit kepala kami yang halus. Hampir semua kepala anak berkutu sehingga orangtua murid di minta merawat dengan sampo khusus. Namun, orangtua kami tidaj mengacuhkannya.
Di luar rumah, kami berjalan sambil melompat-lompat gembira. Pergi kerumah bibi adalah berita terbaik yang mungkin terjadi. Sayang,mama sangat tegang. Papa hanya memberinya waktu terbatas untuk menghantarkan kami ke flat bibi, lalu pulang. Kalau terlambat, bebarti mama akan di pukul lagi.
Kami mengenal dengan baik jalan menuju halte bus. Kami akan melangkah ke ujung jalan dan mengambil jalan pintas memotong satu blok flat. Aku suka bagian perjalanan ini. Walaupun flat itu cukup tua, kondisinya bersih dan rapih. Dalam lingkungan kebun yang terpelihara, wangi bunga mawar memenuhi udara, harum semerbak. Ketika ada tetangga yang mencegat mama unutk mengobrol tentang rumah baru, mama semakin gugup. Mama mohon diri dengan alasan kami mengejar bus bergegas melintas flat. Kami bertiga berlari kecil mengikuti langkanya.
Perjalanan dengan bus dari jakarta ke rumah bibi persis di belakang pasar Pondok Gede di Bekasi memerlukan waktu setengah jam. Hanya perjalan singkat, tapi ketika sampai di sana, kami seakan-akan memasuki dunia baru.